Breaking News
Loading...
Senin, 20 Juli 2015

Tradisi Di Bali


Tradisi Kebudaya yang ada di Bali :

Tradisi Ngerebong
Ngerebong yakni sebuah tradisi unik di Desa Pakeraman Kesiman – Denpasar. Setidaknya setiap 8 hari setelah Hari Raya Kuningan yakni Redite Pon Wuku Medangsia menurut penanggalan Kalender Bali, tradisi sakral ngerebong ini dilaksanakan.Ngerebong sendiri berasal dari kata ngerebong yang artinya berkumpul. Masyarakat setempat percaya bahwa pada hari ngerebong adalah hari dimana para dewa berkumpul. Pusat dari tradisi ini dilakukan di Pura Petilan yang terletak di daerah Kesiman – Denpasar. Biasanya jalan-jalan akan ditutup penuh, mengingat tradisi ini dianggap sakral dan memenuhi jalan serta areal upacara.Sebelum acara puncak dimulai biasanya masyarakat sudah memenuhi area acara dengan adanya beberapa suguhan seperti alunan musik tradisional, bunga-bungaan dalam tempayan cantik, bebantenan serta penjor-penjor berjejer rapi sepanjang jalan. Masyarakat mengawali upacara ini dengan sembahyang di Pura Petilan tersebut. Suasana semakin riuh ditambah dengan adanya acara adu ayam di wantilan (bangunan menyerupai bale-bale).
Puncak acara dari tradisi Ngerebong ini ditandai dengan penyisiran jalan oleh pecalang (polisi adat setempat). Kemudian para pemedek keluar dari pura untuk melanjutkan ritualnya dengan mengelilingi wantilan tempat adu ayam tadi sebanyak 3 kali putaran. Pada saat mengitari wantilan beberapa pemedek akan mengalami kesurupan/kerasukan dengan berteriak, menggeram, menangis sambil menari diiringi alunan musik tradisional.
Selama kerasukan pemedek melakukan tindakan berbahaya seperti menghujamkan keris pada dada, leher, bahkan ubun-ubun. Namun anehnya tidak satupun pemedek yang berdarah akibat hujaman keris tadi. Ritual ini dinamakan ngurek. Konon mengapa pemedek tadi tidak berdarah meskipun telah dihujamkan keris berkali-kali adalah karena adanya kekuatan magis dari roh yang menguasai tubuh pemedek.Selain para pemedek, ada juga barong dan rangda yang ikut menari dalam ritual ini. Ritual ini akan berakhir saat matahari tenggelam. Roh-roh tadi dipulangkan ke alamnya dengan menggiring para pemedek ke dalam pura yang di sana telah ada seorang Pemangku. Kemudian setelah roh-roh keluar dari jasad pemedek, dilanjutkan dengan tarian dewa yang menjadi penutup tradisi ngerebong ini.Upacara Ngerebong itu sendiri bertujuan untuk mengingatkan Umat Hindu melalui ritual sakral tadi untuk terus memelihara keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam yang terkenal dengan istilah Tri Hita Karana. Tidak jelas asal-usul dari tradisi Ngerebong ini, namun masyarakat sekitar terus mempertahankan tradisi ini sebagai bagian dari kehidupan mereka.
Bali memang kaya akan tradisi, hal itulah yang membuat Pulau Dewata ini menjadi menarik untuk dikunjungi. Tradisi Ngerebong ini pun tidak hanya tertutup untuk masyarakat Bali saja, melainkan juga terbuka bagi masyarakat umum yang ingin menyaksikan. Namun untuk bisa menikmati keunikan tradisi tersebut.



Tradisi Mageret Pandan

Tradisi sakral Bali Aga ini menggunakan pandan berduri dan sangat tajam ini adalah unik dan menurut ramagita, Tradisi Mageret pandan atau Perang Pandan (Mekare-kare) dilakukan selama tiga hari dan juga tradisi ini merupakan sarana latihan ketangkasan seorang prajurit dalam masyarakat Tenganan  sebagai penganut Agama Hindu aliran Dewa Indra sebagai Dewa Perang.Yang terpenting dalam perang pandan tersebut tidak ada menang kalah. Kalau ada yang sampai terluka akibat goresan pandan akan diobati dengan obat yang telah disediakan yang berasal dari cuka kunir dan isen. Tak heran jika Perang pandan ini menjadi tontonan menarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.
Kepercayaan warga Tenganan agak berbeda dengan warga Bali pada umumnya dimana Umat Hindu Bali yang menjadikan Tri Murti sebagai dewa tertinggi. Namun bagi warga Tenganan, Dewa Indra sebagai dewa perang adalah dewa dari segala dewa.


Tradisi Mekepung

 Sejarah Tradisi / Atraksi Mekepung di Jembrana Bali dikembangkan pertama kali sekitar tahun 1930 dengan joki berpakaian seperti prajurit istana. Mereka bertelanjang kaki, mengenakan gaun kepala, syal, rompi, dan celana panjang dengan pedang yang dibungkus kain bermotif kotak-kotak di pinggang. Karena pakaian joki yang dikenakan selalu kotor setelah mekepung di sawah berlumpur, maka mereka pindah ke jalan tanah dekat sawah.
Mekepung juga berarti kejar-kejaran, inspirasi berasal dari kegiatan petani pengolahan sawah mereka sebelum mereka menanam benih padi yang bajak lahan basah ke dalam lumpur dengan menggunakan bajak tradisional.
Bajak ditarik oleh dua ekor kerbau, kerbau mengenakan alat dekoratif seperti lonceng kayu, sehingga ketika kerbau berjalan menarik bajak akan terdengar suara seperti musik.

Tradisi Omed-Omedan

Merupakan tradisi / festival ciuman massal usai Hari Raya Nyepi di Bali yang dilaksanakan setiap tahun sekali sebagai warisan leluhur yang dilestarikan sampai saat ini.
tradisi yang unik yaitu Festival Omed – ciuman antara laki dan perempuan satu desa yang tepatnya dilaksanakan di Banjar Kaja Desa Sesetan Denpasar Bali.
Setiap tahun, setidaknya 50 orang muda yang telah dewasa yang berpartisipasi dalam festival turun temurun ini ini.
Festival dimulai dengan doa di Banjar dan semua peserta harus mengikuti prosesi menjadi lancar dan keselamatan saat berciuman kemudian.Pada saat  berdoa orang-orang muda dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama kelompok laki laki, dan yang lainnya adalah kelompok perempuan.
         Dalam sejarahnya, Tradisi Omed-omedan dimulai pada abad ke-17. Sebelumnya tradisi ini dilakukan pada hari Nyepi, namun pada tahun 1978 diputuskan untuk menggantinya pada saat Ngembak Geni, atau sehari setelah Nyepi. “Tradisi ini hanya untuk meluapkan  kegembiraan teruna Teruni pada saat hari omed omedan Ngembak-geni,” kata I Gusti Ngurah Oka Putra, Toko Banjardi daerah Sesetan.



Tradisi Perang Siat Sampian
Tradisi yang dilaksanakan setiap tahun sekali di Pura Samuan Tiga ini juga menarik perhatiann wisatawan asing, demikian dikutip dari artikel perang sampian di Pura Samuan Tiga. Juga dalam kutipan artikel tersebut dijelaskan pula bahwa, sebelum tradisi ini dimulai, dilakukan upacara Nampiog, Ngober dan Meguak-guakan. Dalam upacara ini, ratusan warga mengelilingi areal pura sambil menggerak-gerakkan tangan mereka seperti burung gagak (goak).
Prosesi ini diikuti oleh para permas atau ibu-ibu yang sudah disucikan. Selain ibu-ibu, para pemangku pura setempat juga ikut mengelingi areal Pura. Setelah prosesi ini selesai dilanjutkan dengan upacara Ngombak. Pada upacara ini para wanita yang berjumlah 46 orang, serta laki-laki atau sameton parekan yang juga sudah disucikan berjumlah 309 orang melakukan upacara Ngombak (melakukann gerakan seperti ombak).
Upacara ini dilakukan dengan cara berpegangan tangan satu sama lainnya, kemudian bergerak laksana ombak. Setelah usai upacara ini, para laki dan wanita tersebut langsung mengambil sampian (rangkaian janur untuk sesajen) dan saling pukul serta lempar atau perang dengan sampian satu sama lainnya.

Tradisi Mekotek
Perayaan mekotek ini dulunya menggunakan tombak dari besi, yang memberikan semangat pasukan ke atau dari medan perang, namun seiring perubahan waktu dan untuk menghindari peserta terluka, maka tombak diganti dengan tongkat dari pulet yang sudah dikuliti yang panjangnya sekitar 2 – 3.5 meter. Perayaan di Hari raya Kuningan, peserta berpakaian pakaian adat madya, berkumpul di Pura Dalem Munggu, hampir seluruh warga yang terdiri 15 banjar dari umur 12 – 60 tahun ikut merayakannya. Kemudian tongkat kayu diadu sehingga menimbulkan bunyi “tek tek” di kimpulkan sehingga membentuk sebuah kerucut/ piramid, bagi yang punya nyali ataupun yang mungkin punya kaul naik kepuncuk kumpulan tongkat kayu dan berdiri diatasnya seperti komando yang memberikan semangat bagi pasukannya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok yang lain, membentuk tongkat seperti kerucut dan nantinya akan dipertemukan antara satu dengan yang lainnya. Komando yang berdiri diatas kumpulan tongkat akan memebri komando layaknya panglima perang dan menabrakanya dengan kelompok lain, dengan diiring sebuah gamelan sehingga memacu semangat peserta upacara. Walupun sedikit membahayakan tepi memang cukup menyenangkan, tidak jarang yang terjatuh tidak bisa sampai puncak, tapi semua gembira, senang, tidak ada amarah, inti lain yang dapat dipetik dari tradisi Grebek Mekotek atau perang kayu, perang tak selalu menyebabkan permusuhan dan korban jiwa. Keunikan tradisi sering dijadikan tontonan wisata oleh wisaman yang kebetulan liburan di Bali.



0 komentar :

Posting Komentar

Back To Top